Tuesday, February 8, 2011

Budaya Indie: Berakar Dari Musik Berbuah Sebuah Majalah

Seni dan Budaya

Budaya Indie: Berakar dari Musik Berbuah Sebuah Majalah

Budaya Indie di Yogyakarta sudah mulai bergejolak, dari waktu ke waktu pergerakan budaya tersebut semakin terlihat, khususnya pada kalangan anak muda. Budaya yang diawali di tahun 1980-an dan mulai dihidupkan kembali di abad ke-20 ini melekat pada musik yang akhirnya merembet ke berbagai ranah yang menghasilkan karya-karya indie dan budaya indie lainnya.

Kilman, Saxton dan Serpa (1986) mendefenisikan kebudayaan sebagai “culture can be definet as the philosophies, ideologis, values, assumptions, expectations, attitudes and norms that knit acommunity together. Melalui definisi tersebut, budaya merupakan sebuah kesepakatan bersama, baik secara eksplisit maupun inplisit terhadap sebuah falsafah, ideologi, nilai, asumsi, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan saling mengikat.

Budaya indie sendiri adalah sebuah kesepakatan bersama yang dibentuk oleh sekumpulan orang terhadap sebuah permasalahan yang ada sehingga terciptalah beberapa penilaian, penolakan, pergerakan, dan merupakan bagian dari sebuah counter culture. Indie yang merupakan singkatan dari independen yaitu kemerdekaan memiliki sebuah makna mengenai kemerdekaan terhadap cara mereka berapresiasi, berkarya dan kreativitas mereka. Beberapa menyebutkan bahwa indie adalah anti mainstream atau anti kemapanan.

Budaya indie terlahir dari sebuah ketertarikan terhadap musik-musik independen serta permasalahan yang berkembang mengenai bagaimana semua serba megikuti pasar. Oleh sebab itu budaya indie merupakan salah satu bentuk dari counter culture. Salah satu aksi yang dilakukan pada era itu adalah D.I.Y (Do It Yourself) dan karenanya budaya indie lekat terhadap musik.

Beberapa bentuk dari pergerakan budaya indie di Yogyakarta adalah melalui ketertarikan yang sama sekelompok anak muda terhadap musik indie pop akhirnya melahirkan sebuah majalah yang dinamakan DAB. Sekumpulan anak muda dengan berbagai latar, berbagai jurusan, namun memiliki satu kepahaman yang sama mengenai indie dan minat yang sama pula.

Majalah DAB

DAB (Dynamic Aural Bliss) Magazine adalah sebuah majalah indie dari Yogyakarta yang diberikan secara cuma-cuma tanpa biaya, atau disebut juga sebagai free magz. DAB didirikan oleh anak-anak komunitas musik indiepop pada pertengahan tahun 2009. Majalah DAB adalah majalah yang mengulas retrospektif musik indie Yogya melalui berbagai rangkuman dinamika yang dianalogikan seperti aneka warna dalam sebuah spektrum. DAB didirikan di bawah kekritisan terhadap musik-musik indie yang ada di Yogyakarta serta mulainya ada penyalahartian ‘indie’ itu sendiri yang dianggap sebagai musik non mayor.

DAB berjuang memberikan edukasi dan jalan tengah mengenai esensi indie yang sebenarnya dari sudut pandang idealisme bermusik dan root yang jelas. Sedangkan visi misi DAB adalah lebih memberi edukasi dan pendokumentasian pergerakan musik indie di Yogyakarta, terutama selama ini belum banyak media yang melakukan pendokumentasian mengenai karya-karya musik “indie” di Yogyakarta.

Isi dari DAB sendiri lebih pada seputaran musik di Yogyakarta dan mendokumentasikan karya serta acara-acara yang ada di Yogyakarta pada khususnya. Mulai dari dulunya yang lebih bergenre indie pop, DAB sudah berkembang lagi tak hanya mengangkat musik yang bergenre indie pop melainkan ke semua musik underground juga dibahas, dan lebih bersifat idealis, tidak ada tekanan mengenai idealisme. Tidak ada tekanan mengenai idealisme yang dimaksud adalah para kontributornya memiliki hak untuk mengapresiasikan tulisannya dan berpendapat.

Saat ini DAB (Des 2010) sudah menerbitkan 26 edisi dan sudah melewati berbagai kepemimpinan. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di dalam DAB juga membawa perubahan pada nama majalah ini dan mulai pada Desember 2010 DAB resmi mengganti namanya menjadi EAR.

EAR sebagai aksi D.I.Y

Majalah EAR sebagai salah satu bentuk kebebasan dari sekumpulan anak muda untuk berkarya telah menjadi sebuah lahan bagi para pemusik indie maupun penikmat musik indie. Meskipun tidak banyak jumlah eksemplar yang diterbitkan, majalah tersebut tetap menjadi tempat para pemusik indie dalam memperjuangkan musiknya dan keberlangsungan hidup musik mereka.

Bagaimana sebuah majalah seperti EAR dapat bertahan? EAR majalah yang diberikan secara gratis bisa ditemukan di beberapa distro, cafe, dan event-event musik di Yogyakarta ini telah melalang buana hingga ke luar Jawa, meski tidak banyak. Mereka dapat bertahan dengan mengakali produksinya. Ketika terhambat oleh dana, mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menerbitkan soft copy berformat PDF yang disiarkan melalui twitter atau facebook, sehingga semua orang dapat mengunduhnya dengan mudah dan gratis. Selain itu adalah mengurangi jumlah produksi.

Untuk beberapa kondisi, bahkan EAR sangat memperbolehkan jika orang-orang ingin mengunduh lalu menjadikannya hard copy serta disebarluaskan, seperti yang pernah mereka dapati ketika seseorang dari Lombok ijin untuk menggandakannya dan disebarkan, selama itu bukanlah untuk diperjualbelikan. Hal tersebut bisa dibilang sebagai bentuk dari ke’indie’an mereka dan salah satu pencapaian dari tujuan mereka, yaitu menyebarkan edukasi mengenai musik indie.

Idealisme orang-orang di dalam EAR inilah yang patut menjadi sebuah contoh dimana efek dari budaya indie tidaklah matrealistis, sehingga prinsip di dalamnya tetaplah kuat. Hebatnya lagi adalah, semua kontributor di dalamnya tidak dibayar, mereka juga melakukannya secara cuma-cuma. Namun hal itu pulalah yang membuat tidak banyak orang yang terlibat dalam pengerjaan di majalah tersebut. Meski sebelumnya pernah diadakan pengrekrutan, akhirnya rontok seperti seleksi alam.

Kesimpulan

Budaya indie merupakan salah satu bentuk kanal dari sekelompok orang terhadap sebuah nilai-nilai tertentu dengan idealis yang tinggi. Akar dari budaya indie adalah melalui sebuah musik. Budaya indie bukanlah sebuah budaya yang sempit dengan artian non mainstream, namun merupakan sebuah budaya yang memperjuangkan asas kemerdekaan di dalamnya, terutama dalam berapresiasi dan berkarya.

Indie atau tidak indie bukan terletak dari sebuah musik masuk ke dalam sebuah genre tertentu, melainkan dari bagaimana mereka memperjuangkan sesuatu, bagaimana mereka menjadikannya sesuatu, bagaimana mereka melakukannya untuk sebuah idealisme yang telah disepakati serta dipahami bersama. Melalui konsep do it yourself dapat memberikan sebuah tekanan kepada kaum muda pada khususnya untuk memberikan karyanya, entah itu dalam bermusik, berbisnis, apapun yang menjadikan kaum muda lebih kritis dalam menjalani kehidupan. Mereka akan lebih memaknai hidup dengan prinsip-prinsip yang kuat dan mandiri tanpa mementingkan keuntungan materi semata. Sebuah budaya, mampu membentuk karakter dalam sebuah komunitas menjadi lebih berarti, menuangkan ide bersama dan berkarya.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek (terj.). Yogyakarta: Bentang.

Killman, R.H., Saxton, M.J., dan Serpa, R. 1986. Gaining Control of The Corporate Culture. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiarawacana.

Liliweri, Alo. 2007. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://mahasiswa.com/index.php?aid=8019&cid=19

http://twitter.com/EARmagazine

DAB Magazine

No comments:

Post a Comment