Sunday, February 27, 2011

Empat tanda


Jalanan ini nampaknya tak begitu ramah padaku, suasananya sedikit membuat aku enggan menunaikan kewajibanku di siang itu. Benarkah ini jalannya? Memang, papan sebelum memasuki gang ini sudah memberikan kepastian mengenai 'posisi' tempat itu. Jalan saja yakin saja coba saja cari saja. 

Loh? Ini sudah mentok, kemana ya? Papan itu menipuku? Tidak mungkin. Sedikit aku bergeser ke kanan, memandangi rumah di sudut belokan itu, ada dua orang dewasa sedang berbincang di pelataran rumah, aku hampiri. Tiga, tiga penunjuk untuk menuju kesana.

Sampai, aku sampai, tapi dimananya? Mencari papan lainnya, aku membutuhkan tanda lainnya, bentuknya rupanya penampilannya tak begitu membuatku ingin melangkah maju, meski sebenarnya tak ada hal yang berbeda. Aku harus memastikan dulu, apa benar yang ini? Pria yang sedang rebahan itu memang seperti tamu Tuhan yang biasa aku lihat.


Friday, February 25, 2011

Gave up w/ Fixie


Finally, dua sepeda ini jadi juga. Dua sepeda dari dua laki-laki di keluargaku, si Bapak dan si Bungsu. Oh begini ni ya yang namanya Fixie, kucoba kendarai salah satu sepeda ini, aku lebih suka yang dominan hitam itu, niatnya mau ke angkringan dengan sepeda ini, ternyata mau naik untuk duduk di sadelnya saja aku kesusahan! Kakiku kurang panjang atau memang aku yang tidak biasa menaikinya, yaaaah, tetap mencoba, sampai akhirnya menyerah juga! hha. Malas juga kalau harus mengayuhnya terus menerus, jadi aku beralih ke sepeda yang biasa kupakai dan berangkat menuju angkringan yang ternyata belum buka :(

Thursday, February 24, 2011

Berhenti

"Kamu harus tahu kapan kamu harus berhenti."
(my sexy lecturer and the autis artist)
- Ya, kamu tahu kamu harus berhenti. 
- Kamu bisa berhenti nggak?
- Mau nggak mau ya berhenti.
- Ya! Bagus kamu memang harus tau kapan kamu harus berhenti.
- Apa salahnya dengan berhenti?
- Tolong kamu berhenti sebelum akhirnya sulit atau bahkan tidak bisa dihentikan.
- Bisa kamu berhenti?
- Berhenti seperti itu.
- Kita harus berhenti.
- Aku ingin berhenti.
- Jadi kita berhenti sampai disini?
- Ini bukan berhenti.
- Berhentilah berhenti
- Berhenti dkk







Wednesday, February 23, 2011

Lagi

Ah! Kubangan yang selalu mencari perhatian itu lagi-lagi mencuri langkahku. Tunggu sampai kau bisa melihat dirimu ya kubangan, kasihan kau kuinjak. Aku yakin kau hidup dan aku sangat ingin menginjakmu sampai mati.

GOTCHA!

"Apakah kamu sengaja menunjukkan kebodohanmu untuk memamerkan betapa kamu telah membodohi langit?"
Langit pun selalu setia menunggu bintang datang, langit akan melindunginya dan jangan menutupi apapun kepadanya, karena langit tak akan melepaskan bintang hanya untukmu. Langit itu dapat melihatnya. Langit itu selalu terjaga, dan tidak sulit baginya untuk mengubah keputusannya untuk menjadi hitam saja demi bintang. 

PRAAAANG!

Monday, February 21, 2011

You're not alone, just lonely. And that's me!



Saat itu saya sedang menunggu sendirian, ya sampai akhirnya melihat seorang pemuda yang sedang berteduh sendirian di bawah pohon. Saya memandanginya penasaran, dan pandangan itu persis seperti melihat tanaman kecil yang berdiri tegak sendirian itu. Saya rasa, baik pemuda maupun si tanaman kecil itu kesepian.. Kasian..
Persis malam harinya.. ketika akhirnya saya pun menjadi sendiri kembali. Ternyata, tidak perlu saya ikut mengkasihani diri saya. Mungkin itu pilihan kita? Tapi, saya tidak memilihnya? Tapi.. Saya tidak bisa memaksa? Mungkin itu yang harus saya lewati. Meskipun si tanaman kecil juga si pemuda itu sedang sendirian dan nampak sepi, setidaknya masih ada saya yang memperhatikan mereka bukan?

Berhentilah jika itu yang kamu mau. Itu pilihanmu. Tapi bukan pilihanku dan bukan keingananku. Maka berhentilah berkata apapun, karena aku sudah cukup untuk mengerti bahwa semua harus berhenti bukan. Tidak perlu kamu menegaskan kembali tentang keberhentianmu. Selamat melanjutkan perjalanmu kasih.

None

Tuhan Tuhan.. Cover me..

Friday, February 18, 2011

Kresna, Kemarilah Sayang.

Parasnya selalu menampilkan kehidupannya yang penuh duka, ya memang begitulah, dia menikmati kesedihannya itu dengan terus merasakan dan mengindahkannya. Pilu hatinya telah menjadi satu candu yang tak bisa dia elakkan begitu saja. Ada tidak adanya sebuah tamparan yang melayang, tak membuatnya lupa bagaimana rasanya menjadi orang yang sedih dan menderita. Laki-laki itu bahkan takut membuang perasaannya.
Kresna, ia memiliki dua rumah yang dapat menjadi tempat ia bernaung. Hal itulah yang merupakan sebuah petaka baginya, dua rumah itu, hasil dari pecahnya dua manusia. Kebingungannya untuk memilih membuatnya terlepas dari dua opsi yang ada, ia lari, pergi menjauh.
“Tuhanku, apa yang ingin Kau sampaikan? Apakah Kau berpikir aku kuat melewati ini semua..?” Kresna, ia selalu bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa hal ini semua terjadi padanya.
Dia sungguh berharap namanya yang sama dengan lakon dalam wayang itu memiliki cerita yang sama pula, seorang raja, disenangi rakyatnya, hidup makmur dan bahagia bersama keluarganya. Dua tahun sudah ia mengelana di Yogyakarta, sambil mempelajari Ekonomi dan bertahan hidup. Dalam keadaan yang terpuruk itu, dia berharap dapat menyelesaikan studinya dengan baik, berbekal beasiswa yang diberikan kampusnya ia terus berjalan.
Tak ada waktu untuknya bersenang-senang, meskipun sesekali ia berkumpul bersama kawan-kawannya dan menghempaskan segala permasalahan hidup kepada alkohol seperti yang dilakukannya saat ini. Ketika ia terbangun dari pestanya itu, ia bergegas melarikan diri dari sarang-sarang yang menurutnya tak lebih menyedihkan dari dirinya. Pulang dalam keadaan lelah, dan tak ada ketenangan yang dapat dia rasakan, semu.
“Kresna, kapan mau bayar uang kosmu? Tadi si Ibu dateng, wajahnya nggak enak gitu lah.” celoteh taman sebelah kamarnya sambil memberikan sebungkus aspirin.
“Astaga Tok.. Aku lupa udah nunggak tiga bulan. Ya nanti aku ketemu Ibu, cicil dulu. Makasih ya Tok.”
“Santai lah bos. Makannya, nggak usah lah minum-minum kamu ni, mending duitnya kamu buat bayar kos.”
“Duh Tok. Aku minum juga gak ngeluarin duit, yang bener aja.”
“Loh, perasaan kerjaanmu banyak Kres, terus duitnya kamu kemanain?” selidik Antok kepada temannya itu ingin tahu.
Kresna sepintas terdiam mendengar pertanyaaan temannya itu, terbayangkan kemana larinya uang itu, tentu untuk menghidupi dirinya, “Buat bayar macem-macem Tok.”
“Ya apaan?” dengan santainya Antok menimpali kawannya itu.
“Bayar kos, bensin, makan, buku, fotokopi. Ya gitu.” Jawab Kresna datar.
Antok merasakan ada suasana yang kelabu di tengah pembicaraan mereka dan hal itu malah membuatnya terdorong untuk terus bertanya, “Kamu kan kerja, terus uang sangu dari keluargamu?”
“Nggak ada.”
Ternyata memang seperti yang dipikirkan oleh Antok, sedikit menyesal dia bertanya macam-macam kepada Kresna. Mereka memang sudah lama menjadi teman kos, dua tahun, tapi tak banyak yang ia ketahui tentang Kresna, selain memang Kresna anak yang sangat sibuk, jarang sekali berada di kos, dan selalu pulang dalam keadaan kelelahan. Segera Antok berkata, “Oh... Semangat Kres!” sambil menepuk pundak temannya itu, Antok keluar menuju kamarnya sebelum keingintahuannya membuat panas Kresna.
***
“Tuhan, apakah kau menciptakan aku untuk hidup menderita dan mati begitu saja? Mengapa? Apakah Kau membenciku Tuhan? Tidak. Kau menyayangi kami bukan? Tapi... Kau yang menciptakan kami.. Kau bebas memperlakukan kami sesuka hati... Tapi... Kenapa Kau memberi kami akal ya Tuhan? Apakah Kau ingin aku mencari jawabannya... Atau agar aku dapat merasakan kesedihan yang membara ini? Maafkan aku Tuhan... Aku tidak tahan.” Malam itu, kembali ia mendoakan hal yang sama kepada Tuhannya.
Beberapa menit ia berbaring di kasurnya dan tak lama kemudian ia duduk di depan kamar menikmati hawa malam sambil menghisap rokoknya. Ia teringat akan Ibunya. Kenangan akan Ibunya masih melekat dengan jelas, sentuhan, suara, gerakan, aroma, Ia masih ingat. Sayang, Ibunya tak mampu mengingatnya, setelah kecelakaan dua tahun yang lalu, Ibunya benar-benar melupakan semuanya, termasuk dirinya sendiri.
Mengingat Ibunya membuat ia menjadi mengingat ayahnya, yang telah memiliki istri baru dan membawa adik kecil kesayangan Kresna ikut serta. Dia membenci ayahnya, seorang yang dulunya adalah pujaannya, telah membuat Kresna kecewa dan terpukul. Empat tahun yang lalu mereka bercerai, dan hanya selisih satu bulan dari kecelakaan Ibunya itu, ayahnya menikah lagi. Ia tak menyangka, kenapa ayahnya tega. Mereka memang sudah cukup lama berpisah, tetapi Ibu, Ibu membutuhkannya, orang yang sudah 20 tahun bersamanya, untuk mengingat semuanya.
Kresna pikir, amnesia yang diderita Ibunya mampu membuat ayahnya membuka lembaran baru dengan Ibunya, dan itu yang diharapkannya. Sayang, hal yang terjadi berbeda, ayahnya malah menikah. Kresna mengambil kesimpulan bahwa kecelakaan ini adalah keinginan ayahnya, meski bukan Ayahnya yang menjadi pelaku, ia yakin Ayahnya mengharapkan hal ini, supaya ia merasa tidak bersalah jika menikah lagi. Menikah dengan perempuan yang merupakan sumber keretakan rumah tangga orangtuanya itu.
Hal ini membuatnya semakin kasihan terhadap Ibunya. Untunglah kecelakaan itu terjadi, setidaknya Ibunya tak akan merasakan sakit seperti yang dirasakan Kresna sekarang. Meskipun ia pun merasa kecewa dengan ibunya, yang sibuk meratapi dirinya sendiri dan tak peduli terhadap anaknya. Sungguh, ia ingin seperti ibunya, yang menjadi lupa akan semuanya, tak perlu merasa bersalah telah membiarkan anaknya berkeliaran dan merana seperti ini.
“Tuhan.. Mungkin, hidupku yang penuh kebencianlah yang membuat semua terlihat buruk.. Aku mengerti... Aku merindukan kasih sayang mereka. Aku hanya memberontak, dengan kanal-kanal yang bergoyang tak tentu arah, selamatkan aku Tuhan.” Kembali setelah ia melantunkan permohonannya itu, Kresna memejamkan matanya.

***
Kresna bangun dengan gairah yang baru, sebuah aura yang lebih sejuk dan damai melingkupi dirinya, segera ia menyegarkan tubuhnya dan berangkat menuju Semarang. Dalam hati ia berkata: “Tunggulah aku Ibu. Kau tidak mengenalku, tapi kau telah melahirkan dan merawatku, jika ayah tak bisa memulai semuanya lagi dari awal, aku yang akan memulainya.”
Dia pandangi Ibunya, hampir satu tahun ia tak menemui ibunya, berbicara pun tidak, kini Ibunya nampak lebih tua dan pucat. Kresna lupa, meskipun Ibunya tak mampu mengingat apapun, Ibunya tetap tak kebal dengan penyakit, tetap manusia yang bisa dilanda masalah dan membutuhkan kasih sayang. “Ibu...” sambil memeluk ibunya erat-erat Kresna merintih lirih.
“Kresna...? Ada apa? Kenapa?”
“Tidak, tidak apa-apa. Bagaimana kabar Ibu?” Kresna menunduk dan menghapus setitik air mata yang telah lama dibendungnya itu.
“Baik. Kenapa kok tidak pernah menemui Ibu? Ibu... minta maaf ya sayang? Ibu tidak tahu harus melakukan apa? Ibu pikir kamu memang tidak mau menemui Ibu.”
“Ibu jangan minta maaf, Kresna yang seharusnya minta maaf. Kresna tau, Ibu pasti bingung, Ibu kecelakaan, lupa semuanya, dan Kresna memang tidak pernah menjelaskan apa-apa kepada Ibu. Terakhir kita bertemu, Ibu pun tak sadar Kresna siapa. Dan apa yang sudah kulakukan terhadap Ibu? Kresna pergi begitu saja... tidak sanggup menerima semuanya. Maaf.” seperti anak kecil Kresna memohon pertolongan Ibunya, memohon kasih sayang itu, kehangatan yang selalu dirindukannya.
“Iya sayang. Maaf ya, Ibu lupa? Sekarang mau menceritakan semuanya dari awal? Pelan-pelan ya? Ibu akan menemanimu.” Lembut tangan itu mengusap pipi Kresna yang menghangat.
Manusia, mereka sering berlari dari sebuah masalah, menderita dan menikmatinya. Itulah salah satu yang dilakukan Kresna sebelumnya, terpuruk merasakan kepedihan yang seharusnya dapat ia racik menjadi kebahagian. Kini, ia paham, ia yang terus merawat, memupuk dan menyirami serta menuai lara di hati dan pikirannya. Saatnya ia bangkit. Saatnya ia menebarkan benih bahagia dan kesempatan kepada dirinya untuk menikmati kebahagiaan bersama Ibunya.
***

Thursday, February 17, 2011

Warna warni kubangan




aku melihat warna-warninya
dari bawah situ kulihat dia memberikan keindahan dalam kubangan yang entah sudah berapa banyak orang yang menginjaknya
terus-terusan dia menyodorkan warna-warni kepadaku
meski begitu
tetap
dia adalah sebuah kubangan
tetap
dia tidak bisa menutupinya
meski dengan warna-warni yang dia tawarkan
dan kekaguman itu terhempas terseret tersurat ragu
tak tahu malu

Wednesday, February 16, 2011

Senja


Senja itu,,
Sebenarnya aku tidak begitu tertarik pada senja, namun, baru saja aku membaca buku pemberian seorang teman, yaitu Jazz, Parfum & Insiden karya Seno Gumira Ajidarma yang menceritakan ketertarikan tokohnya terhadap senja.
Ya, senja kali ini aku sedang berada di luar rumah, berjalan kaki bersama adik laki-lakiku, menuju ke angkringan dekat rumah.
Adikku berkata mengenai warna yang menghiasi langit senja itu, akhirnya aku menoleh ke belakang, oh ini si senja. Kutatap langit itu, hmm, ternyata aku hanya penasaran saja, tak ada takjub tak ada getar tak ada keinginan mengenal lebih jauh. Maaf senja, ternyata aku dan kamu tidak 'klik' :)

Saturday, February 12, 2011

Tulus

Apa itu tulus? Tulus yang menangis jika tidak dicintai? Tulus yang marah ketika tidak diperhatikan? Tulus yang ketika melakukan sesuatu untuknya berharap dia mengerti. Mengerti apa yang kita ucapkan, mengerti apa yang kita tunjukkan, mengerti apa yang kita berikan, mengerti apa yang kita lakukan, mengerti apa yang kita rasakan. Apakah sekedar ingin dimengerti? Atau hanya sekedar yang penting dia tahu? Bukankah semua itu penuh maksud? Lalu tulus yang bagaimana?

“Tu·lus a sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dr hati yg suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas: ke·tu·lus·an v kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran: “ (KBBI)

“Dalam urusan cinta, kita sangat jarang menang, tapi ketika cinta itu tulus, meskipun kalah, kamu tetap menang. Hanya karena kamu berbahagia dapat mencintai seseorang lebih dari kamu mencintai dirimu sendiri, Akan tiba saatnya dimana kamu harus berhenti mencintai seseorang. Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita, melainkan karena kita menyadari bahwa dia akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya”

(Kahlil Gibran)

Apakah orang yang mencinta dapat melakukan hal yang tulus terhadap cintanya? Atau seorang yang tulus dapat mencintai seseorang? Bagaimana kita mengetahui seseorang tulus kepada kita, sedangkan kita sendiri tidak benar-benar mengetahui apakah kita tulus terhadapnya.

Pernahkah kalian merasakan cinta yang tulus dari seseorang? Pernahkan kalian mencintai seseorang dengan tulus? Aku berharap kalian semua dapat merasakan kedua-duanya. Bahkan, ketika kita mencintai seseorang dengan tulus, kita telah mendapatkan ketulusan yang dia berikan tanpa kita sadari. Kadang kita tidak menyadari, orang yang pernah kita benci, namun pernah kita sayangi itu, telah memberikan kasihnya kepada kita. Meskipun ketulusannya hanya sebuah kepalsuan, terimalah itu, terimalah dengan tulus. Hanya saja, sadari, kapan kalian harus berhenti, seperti apa kata Gibran. Berhentilah berpura-pura tidak mengerti, lepaskan saja, sebelum akhirnya kau membuatnya menjadi seseorang yang benar-benar tidak mengerti.

Thursday, February 10, 2011

Apa yang akan kamu berikan di hari valentine nanti sayang? #1

Hari valentine ya? Aku sudah lelah menyambutnya tiap tahun. Tidak ada lagi gairah seperti yang pernah kurasakan ketika di sekolah dasar dulu. Sekumpulan gadis cilik menaiki sepedanya masing-masing dan memanggilku dari luar rumah untuk mengajakku bermain, tentunya, membeli coklat untuk hari Valentine. Sayangnya, saat itu aku tidak diperbolehkan bermain dengan teman-temanku. Aku hanya diam di rumah, namun , layaknya anak kecil, akhirnya aku entah bagaimana caranya mampu membuat ibu membawaku pergi untuk membelikanku sesuatu yang akan membuatku senang, sebuah jam yang indah. Jamku tidak seperti anak kecil, yang berwarna-warni dan bergambar, jam itu sangat sederhana dengan warna silver terlihat elegan, tapi saat itu aku tidak berpikir bahwa aku anak perempuan yang keren, ya, sudah cukup senang mendapatkan hadiah itu.

Aku senang sekali akhirnya hari valentine tiba, meski pacar pun aku tidak punya. Kalau pria yang disukai cukup banyak teman-teman di kelas yang aku sukai, entah karena mereka tampan, ketua kelas, atau anak laki-laki yang paling sering mengajakku ribut. Dengan hati gembira aku menuju ke sekolah bersama jam baruku, aku sebut itu sebagai hadiah valentine yang paling hebat. Tapi ternyata, teman-teman tidak peduli dengan jam baruku. Mereka sibuk dengan yang namanya coklat. Iri rasanya, setelah itu aku merasa ah lebih baik aku mendapatkan coklat daripada jam tangan ini. Ternyata, di laci meja ada sebungkus coklat dengan kartu ucapan, yang ternyata itu untukku. Ah! Senangnya! Aku tidak perlu membeli coklat dan aku mendapatkannya secara cuma-cuma. Valentine saat itu aku mendapatkan banyak coklat dari teman sekolah juga dari sekolah yang bersebelahan dengan sekolahku. Aku bagikan kepada adik-adikku.

Itulah terakhir kalinya aku merasakan gairah yang dahsyat di hari valentine. Setelah SMP, SMA, kuliah, aku tidak merasakan hal yang hebat lagi. Bukan sesuatu yang kutunggu-tunggu, kecuali berbagai coklat yang dijual, aku salah satu penggemar coklat tetapi tidak addict. Meskipun aku berpacaran di kala itu, ada saja alasan untuk tidak merayakannya berdua, bukankah cinta tidak hanya hari ini saja? Kapanpun kita selalu merasakannya, kapanpun kita merayakan gelora dari kasih sayang. Aku pun menjadi tidak begitu bersemangat untuk menanti valentine, dan hal itu akhirnya terbawa hingga sekarang, 14 Februari adalah hari biasa. Bahkan aku tidak berkeliling membeli coklat untuk kumakan sendiri.

Tuesday, February 8, 2011

Budaya Indie: Berakar Dari Musik Berbuah Sebuah Majalah

Seni dan Budaya

Budaya Indie: Berakar dari Musik Berbuah Sebuah Majalah

Budaya Indie di Yogyakarta sudah mulai bergejolak, dari waktu ke waktu pergerakan budaya tersebut semakin terlihat, khususnya pada kalangan anak muda. Budaya yang diawali di tahun 1980-an dan mulai dihidupkan kembali di abad ke-20 ini melekat pada musik yang akhirnya merembet ke berbagai ranah yang menghasilkan karya-karya indie dan budaya indie lainnya.

Kilman, Saxton dan Serpa (1986) mendefenisikan kebudayaan sebagai “culture can be definet as the philosophies, ideologis, values, assumptions, expectations, attitudes and norms that knit acommunity together. Melalui definisi tersebut, budaya merupakan sebuah kesepakatan bersama, baik secara eksplisit maupun inplisit terhadap sebuah falsafah, ideologi, nilai, asumsi, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan saling mengikat.

Budaya indie sendiri adalah sebuah kesepakatan bersama yang dibentuk oleh sekumpulan orang terhadap sebuah permasalahan yang ada sehingga terciptalah beberapa penilaian, penolakan, pergerakan, dan merupakan bagian dari sebuah counter culture. Indie yang merupakan singkatan dari independen yaitu kemerdekaan memiliki sebuah makna mengenai kemerdekaan terhadap cara mereka berapresiasi, berkarya dan kreativitas mereka. Beberapa menyebutkan bahwa indie adalah anti mainstream atau anti kemapanan.

Budaya indie terlahir dari sebuah ketertarikan terhadap musik-musik independen serta permasalahan yang berkembang mengenai bagaimana semua serba megikuti pasar. Oleh sebab itu budaya indie merupakan salah satu bentuk dari counter culture. Salah satu aksi yang dilakukan pada era itu adalah D.I.Y (Do It Yourself) dan karenanya budaya indie lekat terhadap musik.

Beberapa bentuk dari pergerakan budaya indie di Yogyakarta adalah melalui ketertarikan yang sama sekelompok anak muda terhadap musik indie pop akhirnya melahirkan sebuah majalah yang dinamakan DAB. Sekumpulan anak muda dengan berbagai latar, berbagai jurusan, namun memiliki satu kepahaman yang sama mengenai indie dan minat yang sama pula.

Majalah DAB

DAB (Dynamic Aural Bliss) Magazine adalah sebuah majalah indie dari Yogyakarta yang diberikan secara cuma-cuma tanpa biaya, atau disebut juga sebagai free magz. DAB didirikan oleh anak-anak komunitas musik indiepop pada pertengahan tahun 2009. Majalah DAB adalah majalah yang mengulas retrospektif musik indie Yogya melalui berbagai rangkuman dinamika yang dianalogikan seperti aneka warna dalam sebuah spektrum. DAB didirikan di bawah kekritisan terhadap musik-musik indie yang ada di Yogyakarta serta mulainya ada penyalahartian ‘indie’ itu sendiri yang dianggap sebagai musik non mayor.

DAB berjuang memberikan edukasi dan jalan tengah mengenai esensi indie yang sebenarnya dari sudut pandang idealisme bermusik dan root yang jelas. Sedangkan visi misi DAB adalah lebih memberi edukasi dan pendokumentasian pergerakan musik indie di Yogyakarta, terutama selama ini belum banyak media yang melakukan pendokumentasian mengenai karya-karya musik “indie” di Yogyakarta.

Isi dari DAB sendiri lebih pada seputaran musik di Yogyakarta dan mendokumentasikan karya serta acara-acara yang ada di Yogyakarta pada khususnya. Mulai dari dulunya yang lebih bergenre indie pop, DAB sudah berkembang lagi tak hanya mengangkat musik yang bergenre indie pop melainkan ke semua musik underground juga dibahas, dan lebih bersifat idealis, tidak ada tekanan mengenai idealisme. Tidak ada tekanan mengenai idealisme yang dimaksud adalah para kontributornya memiliki hak untuk mengapresiasikan tulisannya dan berpendapat.

Saat ini DAB (Des 2010) sudah menerbitkan 26 edisi dan sudah melewati berbagai kepemimpinan. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di dalam DAB juga membawa perubahan pada nama majalah ini dan mulai pada Desember 2010 DAB resmi mengganti namanya menjadi EAR.

EAR sebagai aksi D.I.Y

Majalah EAR sebagai salah satu bentuk kebebasan dari sekumpulan anak muda untuk berkarya telah menjadi sebuah lahan bagi para pemusik indie maupun penikmat musik indie. Meskipun tidak banyak jumlah eksemplar yang diterbitkan, majalah tersebut tetap menjadi tempat para pemusik indie dalam memperjuangkan musiknya dan keberlangsungan hidup musik mereka.

Bagaimana sebuah majalah seperti EAR dapat bertahan? EAR majalah yang diberikan secara gratis bisa ditemukan di beberapa distro, cafe, dan event-event musik di Yogyakarta ini telah melalang buana hingga ke luar Jawa, meski tidak banyak. Mereka dapat bertahan dengan mengakali produksinya. Ketika terhambat oleh dana, mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menerbitkan soft copy berformat PDF yang disiarkan melalui twitter atau facebook, sehingga semua orang dapat mengunduhnya dengan mudah dan gratis. Selain itu adalah mengurangi jumlah produksi.

Untuk beberapa kondisi, bahkan EAR sangat memperbolehkan jika orang-orang ingin mengunduh lalu menjadikannya hard copy serta disebarluaskan, seperti yang pernah mereka dapati ketika seseorang dari Lombok ijin untuk menggandakannya dan disebarkan, selama itu bukanlah untuk diperjualbelikan. Hal tersebut bisa dibilang sebagai bentuk dari ke’indie’an mereka dan salah satu pencapaian dari tujuan mereka, yaitu menyebarkan edukasi mengenai musik indie.

Idealisme orang-orang di dalam EAR inilah yang patut menjadi sebuah contoh dimana efek dari budaya indie tidaklah matrealistis, sehingga prinsip di dalamnya tetaplah kuat. Hebatnya lagi adalah, semua kontributor di dalamnya tidak dibayar, mereka juga melakukannya secara cuma-cuma. Namun hal itu pulalah yang membuat tidak banyak orang yang terlibat dalam pengerjaan di majalah tersebut. Meski sebelumnya pernah diadakan pengrekrutan, akhirnya rontok seperti seleksi alam.

Kesimpulan

Budaya indie merupakan salah satu bentuk kanal dari sekelompok orang terhadap sebuah nilai-nilai tertentu dengan idealis yang tinggi. Akar dari budaya indie adalah melalui sebuah musik. Budaya indie bukanlah sebuah budaya yang sempit dengan artian non mainstream, namun merupakan sebuah budaya yang memperjuangkan asas kemerdekaan di dalamnya, terutama dalam berapresiasi dan berkarya.

Indie atau tidak indie bukan terletak dari sebuah musik masuk ke dalam sebuah genre tertentu, melainkan dari bagaimana mereka memperjuangkan sesuatu, bagaimana mereka menjadikannya sesuatu, bagaimana mereka melakukannya untuk sebuah idealisme yang telah disepakati serta dipahami bersama. Melalui konsep do it yourself dapat memberikan sebuah tekanan kepada kaum muda pada khususnya untuk memberikan karyanya, entah itu dalam bermusik, berbisnis, apapun yang menjadikan kaum muda lebih kritis dalam menjalani kehidupan. Mereka akan lebih memaknai hidup dengan prinsip-prinsip yang kuat dan mandiri tanpa mementingkan keuntungan materi semata. Sebuah budaya, mampu membentuk karakter dalam sebuah komunitas menjadi lebih berarti, menuangkan ide bersama dan berkarya.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek (terj.). Yogyakarta: Bentang.

Killman, R.H., Saxton, M.J., dan Serpa, R. 1986. Gaining Control of The Corporate Culture. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiarawacana.

Liliweri, Alo. 2007. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://mahasiswa.com/index.php?aid=8019&cid=19

http://twitter.com/EARmagazine

DAB Magazine