Parasnya selalu menampilkan kehidupannya yang penuh duka, ya memang begitulah, dia menikmati kesedihannya itu dengan terus merasakan dan mengindahkannya. Pilu hatinya telah menjadi satu candu yang tak bisa dia elakkan begitu saja. Ada tidak adanya sebuah tamparan yang melayang, tak membuatnya lupa bagaimana rasanya menjadi orang yang sedih dan menderita. Laki-laki itu bahkan takut membuang perasaannya.
Kresna, ia memiliki dua rumah yang dapat menjadi tempat ia bernaung. Hal itulah yang merupakan sebuah petaka baginya, dua rumah itu, hasil dari pecahnya dua manusia. Kebingungannya untuk memilih membuatnya terlepas dari dua opsi yang ada, ia lari, pergi menjauh.
“Tuhanku, apa yang ingin Kau sampaikan? Apakah Kau berpikir aku kuat melewati ini semua..?” Kresna, ia selalu bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa hal ini semua terjadi padanya.
Dia sungguh berharap namanya yang sama dengan lakon dalam wayang itu memiliki cerita yang sama pula, seorang raja, disenangi rakyatnya, hidup makmur dan bahagia bersama keluarganya. Dua tahun sudah ia mengelana di Yogyakarta, sambil mempelajari Ekonomi dan bertahan hidup. Dalam keadaan yang terpuruk itu, dia berharap dapat menyelesaikan studinya dengan baik, berbekal beasiswa yang diberikan kampusnya ia terus berjalan.
Tak ada waktu untuknya bersenang-senang, meskipun sesekali ia berkumpul bersama kawan-kawannya dan menghempaskan segala permasalahan hidup kepada alkohol seperti yang dilakukannya saat ini. Ketika ia terbangun dari pestanya itu, ia bergegas melarikan diri dari sarang-sarang yang menurutnya tak lebih menyedihkan dari dirinya. Pulang dalam keadaan lelah, dan tak ada ketenangan yang dapat dia rasakan, semu.
“Kresna, kapan mau bayar uang kosmu? Tadi si Ibu dateng, wajahnya nggak enak gitu lah.” celoteh taman sebelah kamarnya sambil memberikan sebungkus aspirin.
“Astaga Tok.. Aku lupa udah nunggak tiga bulan. Ya nanti aku ketemu Ibu, cicil dulu. Makasih ya Tok.”
“Santai lah bos. Makannya, nggak usah lah minum-minum kamu ni, mending duitnya kamu buat bayar kos.”
“Duh Tok. Aku minum juga gak ngeluarin duit, yang bener aja.”
“Loh, perasaan kerjaanmu banyak Kres, terus duitnya kamu kemanain?” selidik Antok kepada temannya itu ingin tahu.
Kresna sepintas terdiam mendengar pertanyaaan temannya itu, terbayangkan kemana larinya uang itu, tentu untuk menghidupi dirinya, “Buat bayar macem-macem Tok.”
“Ya apaan?” dengan santainya Antok menimpali kawannya itu.
“Bayar kos, bensin, makan, buku, fotokopi. Ya gitu.” Jawab Kresna datar.
Antok merasakan ada suasana yang kelabu di tengah pembicaraan mereka dan hal itu malah membuatnya terdorong untuk terus bertanya, “Kamu kan kerja, terus uang sangu dari keluargamu?”
“Nggak ada.”
Ternyata memang seperti yang dipikirkan oleh Antok, sedikit menyesal dia bertanya macam-macam kepada Kresna. Mereka memang sudah lama menjadi teman kos, dua tahun, tapi tak banyak yang ia ketahui tentang Kresna, selain memang Kresna anak yang sangat sibuk, jarang sekali berada di kos, dan selalu pulang dalam keadaan kelelahan. Segera Antok berkata, “Oh... Semangat Kres!” sambil menepuk pundak temannya itu, Antok keluar menuju kamarnya sebelum keingintahuannya membuat panas Kresna.
Beberapa menit ia berbaring di kasurnya dan tak lama kemudian ia duduk di depan kamar menikmati hawa malam sambil menghisap rokoknya. Ia teringat akan Ibunya. Kenangan akan Ibunya masih melekat dengan jelas, sentuhan, suara, gerakan, aroma, Ia masih ingat. Sayang, Ibunya tak mampu mengingatnya, setelah kecelakaan dua tahun yang lalu, Ibunya benar-benar melupakan semuanya, termasuk dirinya sendiri.
Mengingat Ibunya membuat ia menjadi mengingat ayahnya, yang telah memiliki istri baru dan membawa adik kecil kesayangan Kresna ikut serta. Dia membenci ayahnya, seorang yang dulunya adalah pujaannya, telah membuat Kresna kecewa dan terpukul. Empat tahun yang lalu mereka bercerai, dan hanya selisih satu bulan dari kecelakaan Ibunya itu, ayahnya menikah lagi. Ia tak menyangka, kenapa ayahnya tega. Mereka memang sudah cukup lama berpisah, tetapi Ibu, Ibu membutuhkannya, orang yang sudah 20 tahun bersamanya, untuk mengingat semuanya.
Kresna pikir, amnesia yang diderita Ibunya mampu membuat ayahnya membuka lembaran baru dengan Ibunya, dan itu yang diharapkannya. Sayang, hal yang terjadi berbeda, ayahnya malah menikah. Kresna mengambil kesimpulan bahwa kecelakaan ini adalah keinginan ayahnya, meski bukan Ayahnya yang menjadi pelaku, ia yakin Ayahnya mengharapkan hal ini, supaya ia merasa tidak bersalah jika menikah lagi. Menikah dengan perempuan yang merupakan sumber keretakan rumah tangga orangtuanya itu.
Hal ini membuatnya semakin kasihan terhadap Ibunya. Untunglah kecelakaan itu terjadi, setidaknya Ibunya tak akan merasakan sakit seperti yang dirasakan Kresna sekarang. Meskipun ia pun merasa kecewa dengan ibunya, yang sibuk meratapi dirinya sendiri dan tak peduli terhadap anaknya. Sungguh, ia ingin seperti ibunya, yang menjadi lupa akan semuanya, tak perlu merasa bersalah telah membiarkan anaknya berkeliaran dan merana seperti ini.
“Tuhan.. Mungkin, hidupku yang penuh kebencianlah yang membuat semua terlihat buruk.. Aku mengerti... Aku merindukan kasih sayang mereka. Aku hanya memberontak, dengan kanal-kanal yang bergoyang tak tentu arah, selamatkan aku Tuhan.” Kembali setelah ia melantunkan permohonannya itu, Kresna memejamkan matanya.
Dia pandangi Ibunya, hampir satu tahun ia tak menemui ibunya, berbicara pun tidak, kini Ibunya nampak lebih tua dan pucat. Kresna lupa, meskipun Ibunya tak mampu mengingat apapun, Ibunya tetap tak kebal dengan penyakit, tetap manusia yang bisa dilanda masalah dan membutuhkan kasih sayang. “Ibu...” sambil memeluk ibunya erat-erat Kresna merintih lirih.
“Kresna...? Ada apa? Kenapa?”
“Tidak, tidak apa-apa. Bagaimana kabar Ibu?” Kresna menunduk dan menghapus setitik air mata yang telah lama dibendungnya itu.
“Baik. Kenapa kok tidak pernah menemui Ibu? Ibu... minta maaf ya sayang? Ibu tidak tahu harus melakukan apa? Ibu pikir kamu memang tidak mau menemui Ibu.”
“Ibu jangan minta maaf, Kresna yang seharusnya minta maaf. Kresna tau, Ibu pasti bingung, Ibu kecelakaan, lupa semuanya, dan Kresna memang tidak pernah menjelaskan apa-apa kepada Ibu. Terakhir kita bertemu, Ibu pun tak sadar Kresna siapa. Dan apa yang sudah kulakukan terhadap Ibu? Kresna pergi begitu saja... tidak sanggup menerima semuanya. Maaf.” seperti anak kecil Kresna memohon pertolongan Ibunya, memohon kasih sayang itu, kehangatan yang selalu dirindukannya.
“Iya sayang. Maaf ya, Ibu lupa? Sekarang mau menceritakan semuanya dari awal? Pelan-pelan ya? Ibu akan menemanimu.” Lembut tangan itu mengusap pipi Kresna yang menghangat.
Manusia, mereka sering berlari dari sebuah masalah, menderita dan menikmatinya. Itulah salah satu yang dilakukan Kresna sebelumnya, terpuruk merasakan kepedihan yang seharusnya dapat ia racik menjadi kebahagian. Kini, ia paham, ia yang terus merawat, memupuk dan menyirami serta menuai lara di hati dan pikirannya. Saatnya ia bangkit. Saatnya ia menebarkan benih bahagia dan kesempatan kepada dirinya untuk menikmati kebahagiaan bersama Ibunya.
Kresna, ia memiliki dua rumah yang dapat menjadi tempat ia bernaung. Hal itulah yang merupakan sebuah petaka baginya, dua rumah itu, hasil dari pecahnya dua manusia. Kebingungannya untuk memilih membuatnya terlepas dari dua opsi yang ada, ia lari, pergi menjauh.
“Tuhanku, apa yang ingin Kau sampaikan? Apakah Kau berpikir aku kuat melewati ini semua..?” Kresna, ia selalu bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa hal ini semua terjadi padanya.
Dia sungguh berharap namanya yang sama dengan lakon dalam wayang itu memiliki cerita yang sama pula, seorang raja, disenangi rakyatnya, hidup makmur dan bahagia bersama keluarganya. Dua tahun sudah ia mengelana di Yogyakarta, sambil mempelajari Ekonomi dan bertahan hidup. Dalam keadaan yang terpuruk itu, dia berharap dapat menyelesaikan studinya dengan baik, berbekal beasiswa yang diberikan kampusnya ia terus berjalan.
Tak ada waktu untuknya bersenang-senang, meskipun sesekali ia berkumpul bersama kawan-kawannya dan menghempaskan segala permasalahan hidup kepada alkohol seperti yang dilakukannya saat ini. Ketika ia terbangun dari pestanya itu, ia bergegas melarikan diri dari sarang-sarang yang menurutnya tak lebih menyedihkan dari dirinya. Pulang dalam keadaan lelah, dan tak ada ketenangan yang dapat dia rasakan, semu.
“Kresna, kapan mau bayar uang kosmu? Tadi si Ibu dateng, wajahnya nggak enak gitu lah.” celoteh taman sebelah kamarnya sambil memberikan sebungkus aspirin.
“Astaga Tok.. Aku lupa udah nunggak tiga bulan. Ya nanti aku ketemu Ibu, cicil dulu. Makasih ya Tok.”
“Santai lah bos. Makannya, nggak usah lah minum-minum kamu ni, mending duitnya kamu buat bayar kos.”
“Duh Tok. Aku minum juga gak ngeluarin duit, yang bener aja.”
“Loh, perasaan kerjaanmu banyak Kres, terus duitnya kamu kemanain?” selidik Antok kepada temannya itu ingin tahu.
Kresna sepintas terdiam mendengar pertanyaaan temannya itu, terbayangkan kemana larinya uang itu, tentu untuk menghidupi dirinya, “Buat bayar macem-macem Tok.”
“Ya apaan?” dengan santainya Antok menimpali kawannya itu.
“Bayar kos, bensin, makan, buku, fotokopi. Ya gitu.” Jawab Kresna datar.
Antok merasakan ada suasana yang kelabu di tengah pembicaraan mereka dan hal itu malah membuatnya terdorong untuk terus bertanya, “Kamu kan kerja, terus uang sangu dari keluargamu?”
“Nggak ada.”
Ternyata memang seperti yang dipikirkan oleh Antok, sedikit menyesal dia bertanya macam-macam kepada Kresna. Mereka memang sudah lama menjadi teman kos, dua tahun, tapi tak banyak yang ia ketahui tentang Kresna, selain memang Kresna anak yang sangat sibuk, jarang sekali berada di kos, dan selalu pulang dalam keadaan kelelahan. Segera Antok berkata, “Oh... Semangat Kres!” sambil menepuk pundak temannya itu, Antok keluar menuju kamarnya sebelum keingintahuannya membuat panas Kresna.
***
“Tuhan, apakah kau menciptakan aku untuk hidup menderita dan mati begitu saja? Mengapa? Apakah Kau membenciku Tuhan? Tidak. Kau menyayangi kami bukan? Tapi... Kau yang menciptakan kami.. Kau bebas memperlakukan kami sesuka hati... Tapi... Kenapa Kau memberi kami akal ya Tuhan? Apakah Kau ingin aku mencari jawabannya... Atau agar aku dapat merasakan kesedihan yang membara ini? Maafkan aku Tuhan... Aku tidak tahan.” Malam itu, kembali ia mendoakan hal yang sama kepada Tuhannya.Beberapa menit ia berbaring di kasurnya dan tak lama kemudian ia duduk di depan kamar menikmati hawa malam sambil menghisap rokoknya. Ia teringat akan Ibunya. Kenangan akan Ibunya masih melekat dengan jelas, sentuhan, suara, gerakan, aroma, Ia masih ingat. Sayang, Ibunya tak mampu mengingatnya, setelah kecelakaan dua tahun yang lalu, Ibunya benar-benar melupakan semuanya, termasuk dirinya sendiri.
Mengingat Ibunya membuat ia menjadi mengingat ayahnya, yang telah memiliki istri baru dan membawa adik kecil kesayangan Kresna ikut serta. Dia membenci ayahnya, seorang yang dulunya adalah pujaannya, telah membuat Kresna kecewa dan terpukul. Empat tahun yang lalu mereka bercerai, dan hanya selisih satu bulan dari kecelakaan Ibunya itu, ayahnya menikah lagi. Ia tak menyangka, kenapa ayahnya tega. Mereka memang sudah cukup lama berpisah, tetapi Ibu, Ibu membutuhkannya, orang yang sudah 20 tahun bersamanya, untuk mengingat semuanya.
Kresna pikir, amnesia yang diderita Ibunya mampu membuat ayahnya membuka lembaran baru dengan Ibunya, dan itu yang diharapkannya. Sayang, hal yang terjadi berbeda, ayahnya malah menikah. Kresna mengambil kesimpulan bahwa kecelakaan ini adalah keinginan ayahnya, meski bukan Ayahnya yang menjadi pelaku, ia yakin Ayahnya mengharapkan hal ini, supaya ia merasa tidak bersalah jika menikah lagi. Menikah dengan perempuan yang merupakan sumber keretakan rumah tangga orangtuanya itu.
Hal ini membuatnya semakin kasihan terhadap Ibunya. Untunglah kecelakaan itu terjadi, setidaknya Ibunya tak akan merasakan sakit seperti yang dirasakan Kresna sekarang. Meskipun ia pun merasa kecewa dengan ibunya, yang sibuk meratapi dirinya sendiri dan tak peduli terhadap anaknya. Sungguh, ia ingin seperti ibunya, yang menjadi lupa akan semuanya, tak perlu merasa bersalah telah membiarkan anaknya berkeliaran dan merana seperti ini.
“Tuhan.. Mungkin, hidupku yang penuh kebencianlah yang membuat semua terlihat buruk.. Aku mengerti... Aku merindukan kasih sayang mereka. Aku hanya memberontak, dengan kanal-kanal yang bergoyang tak tentu arah, selamatkan aku Tuhan.” Kembali setelah ia melantunkan permohonannya itu, Kresna memejamkan matanya.
***
Kresna bangun dengan gairah yang baru, sebuah aura yang lebih sejuk dan damai melingkupi dirinya, segera ia menyegarkan tubuhnya dan berangkat menuju Semarang. Dalam hati ia berkata: “Tunggulah aku Ibu. Kau tidak mengenalku, tapi kau telah melahirkan dan merawatku, jika ayah tak bisa memulai semuanya lagi dari awal, aku yang akan memulainya.”Dia pandangi Ibunya, hampir satu tahun ia tak menemui ibunya, berbicara pun tidak, kini Ibunya nampak lebih tua dan pucat. Kresna lupa, meskipun Ibunya tak mampu mengingat apapun, Ibunya tetap tak kebal dengan penyakit, tetap manusia yang bisa dilanda masalah dan membutuhkan kasih sayang. “Ibu...” sambil memeluk ibunya erat-erat Kresna merintih lirih.
“Kresna...? Ada apa? Kenapa?”
“Tidak, tidak apa-apa. Bagaimana kabar Ibu?” Kresna menunduk dan menghapus setitik air mata yang telah lama dibendungnya itu.
“Baik. Kenapa kok tidak pernah menemui Ibu? Ibu... minta maaf ya sayang? Ibu tidak tahu harus melakukan apa? Ibu pikir kamu memang tidak mau menemui Ibu.”
“Ibu jangan minta maaf, Kresna yang seharusnya minta maaf. Kresna tau, Ibu pasti bingung, Ibu kecelakaan, lupa semuanya, dan Kresna memang tidak pernah menjelaskan apa-apa kepada Ibu. Terakhir kita bertemu, Ibu pun tak sadar Kresna siapa. Dan apa yang sudah kulakukan terhadap Ibu? Kresna pergi begitu saja... tidak sanggup menerima semuanya. Maaf.” seperti anak kecil Kresna memohon pertolongan Ibunya, memohon kasih sayang itu, kehangatan yang selalu dirindukannya.
“Iya sayang. Maaf ya, Ibu lupa? Sekarang mau menceritakan semuanya dari awal? Pelan-pelan ya? Ibu akan menemanimu.” Lembut tangan itu mengusap pipi Kresna yang menghangat.
Manusia, mereka sering berlari dari sebuah masalah, menderita dan menikmatinya. Itulah salah satu yang dilakukan Kresna sebelumnya, terpuruk merasakan kepedihan yang seharusnya dapat ia racik menjadi kebahagian. Kini, ia paham, ia yang terus merawat, memupuk dan menyirami serta menuai lara di hati dan pikirannya. Saatnya ia bangkit. Saatnya ia menebarkan benih bahagia dan kesempatan kepada dirinya untuk menikmati kebahagiaan bersama Ibunya.
***
No comments:
Post a Comment