"Volcano Tour After Mount Merapi Eruption"
Mengakhiri hari terakhir di tahun 2010 kemarin, kami sekeluarga besar pergi ke salah satu wilayah yang terkena dampak dari erupsi Gunung Merapi yaitu daerah Cangkringan.
Sebelum berangkat adik saya berkata "Ngapain ke Merapi? Bencana kok malah dilihat?" dan ayah saya menjawab "Kejadiannya kan sudah selesai, justru penduduk sana pingin kita kesana, supaya dapat retribusi juga dari kita yang mengunjungi.". Setelah dijelaskan seperti itu akhirnya adik saya mengiyakan.
Dalam perjalanan, ketika saya menengok ke arah sisi kanan kiri jalan yang dikelilingi oleh pohon-pohon saya melihat di bagian kanan menuju cangkringan, hutan itu nampak rimbun dan tenang, tidak ada tanda-tanda terkena erupsi, namun hanya selisih beberapa meter di belakangnya, pohon-pohon disana telah kering. Hal ini terjadi karena faktor angin juga yang membawa "wedhus gembel" kesana. Selain itu ada beberapa barang seperti motor dan sepeda yang sengaja dipajang di sisi jalan untuk menunjukkan bagaimana panasnya dapat membuat kendaraan itu sampai melepuh.
Disana, ada beberapa penduduk yang menyodorkan kotak-kotak, dan saat itu sepupu saya bertanya "Kenapa kok kasi kotakan? kan sudah selesai bencananya?" lalu om saya (ayahnya) menjawab, "Loh, kamu belum sampai ya kesana? Gini lo nak, panasnya wedhus gembel itu 1000 derajat, rumah-rumah yang mereka tempati rusak, rumah yang mereka bangun susah-susah atau yang sudah diwarisi turun temurun. Sawah mereka kering, tempat mereka bekerja. Sapi mereka mati. Nah mereka memang selamat, tapi kan mereka harus menjalankan hidup lagi seperti biasanya, dan dengan keadaan mereka sekarang mereka butuh biaya lebih untuk memulai lagi dari nol." dan sepupu saya sekarang mengerti kenapa mereka membutuhkan dana lagi.
Bencana memang bukanlah sebuah tontonan, tetapi, dengan bijak, di waktu yang tepat, "wisata bencana" merupakan salah satu cara membantu mereka bangkit. Kami kesana membayar tiket, orang-orang disana membaantu parkir, dapat berjualan foto, berjualan jajanan, yang tentunya dapat membantu mereka mencari nafkah. Dari sisi penontonnya, kami jadi mengerti bagaimana kebesaran-Nya, bagaimana kesedihan mereka serta kegigihan mereka untuk bertahan hidup.
Sebelum berangkat adik saya berkata "Ngapain ke Merapi? Bencana kok malah dilihat?" dan ayah saya menjawab "Kejadiannya kan sudah selesai, justru penduduk sana pingin kita kesana, supaya dapat retribusi juga dari kita yang mengunjungi.". Setelah dijelaskan seperti itu akhirnya adik saya mengiyakan.
Dalam perjalanan, ketika saya menengok ke arah sisi kanan kiri jalan yang dikelilingi oleh pohon-pohon saya melihat di bagian kanan menuju cangkringan, hutan itu nampak rimbun dan tenang, tidak ada tanda-tanda terkena erupsi, namun hanya selisih beberapa meter di belakangnya, pohon-pohon disana telah kering. Hal ini terjadi karena faktor angin juga yang membawa "wedhus gembel" kesana. Selain itu ada beberapa barang seperti motor dan sepeda yang sengaja dipajang di sisi jalan untuk menunjukkan bagaimana panasnya dapat membuat kendaraan itu sampai melepuh.
Disana, ada beberapa penduduk yang menyodorkan kotak-kotak, dan saat itu sepupu saya bertanya "Kenapa kok kasi kotakan? kan sudah selesai bencananya?" lalu om saya (ayahnya) menjawab, "Loh, kamu belum sampai ya kesana? Gini lo nak, panasnya wedhus gembel itu 1000 derajat, rumah-rumah yang mereka tempati rusak, rumah yang mereka bangun susah-susah atau yang sudah diwarisi turun temurun. Sawah mereka kering, tempat mereka bekerja. Sapi mereka mati. Nah mereka memang selamat, tapi kan mereka harus menjalankan hidup lagi seperti biasanya, dan dengan keadaan mereka sekarang mereka butuh biaya lebih untuk memulai lagi dari nol." dan sepupu saya sekarang mengerti kenapa mereka membutuhkan dana lagi.
Bencana memang bukanlah sebuah tontonan, tetapi, dengan bijak, di waktu yang tepat, "wisata bencana" merupakan salah satu cara membantu mereka bangkit. Kami kesana membayar tiket, orang-orang disana membaantu parkir, dapat berjualan foto, berjualan jajanan, yang tentunya dapat membantu mereka mencari nafkah. Dari sisi penontonnya, kami jadi mengerti bagaimana kebesaran-Nya, bagaimana kesedihan mereka serta kegigihan mereka untuk bertahan hidup.
No comments:
Post a Comment